Mayat Si Kecil Dalam Pelukan Ibunya (Kisah nyata) - Hari ini
melelahkan sekali, aku harus berganti kereta sampai 2 kali, dari arah
Depok menuju stasiun Kota, dari stasiun Kota nyambung lagi dengan kereta
Patas arah Angke sampai stasiun Merak. Tapi karena jadwal kereta kadang
tidak jelas, harusnya kereta Patas berangkat pukul 10 tapi jadi molor
jauh tidak jelas pukul berapa kereta harus berangkat (mirip lagu Iwan
Fals).
Sesaat aku duduk di gerbong yang tidak terlalu padat, disisiku ada
seorang ibu yang menggendong anaknya sepertinya sedang terlelap. Karena
jenuh menunggu kereta tidak berangkat-berangkat, akhirnya untuk mengusir
rasa kejenuhan aku mencoba mengajak ngobrol ibu yang menggendong
anaknya tepat disebelahku.
Aku : “Ibu, ini anak ibu?”
Ibu : “Iya, neng”. Menjawab dengan tanpa ekrspresi dan aku semakin penasaran.
Aku : “cantik ya bu, anaknya”. Terlihat sekali anak itu didandani dengan
bedak dengan baju warna pink serta sedikit celak dimatanya.
Ibu : “Terima kasih, neng”. Masih tanpa ekspresi. Lalu ku lanjutkan pertanyaanku.
Aku : “Mau kemana, bu?”.
Ibu : “Ke daerah Rangkasbitung”. Sambil menyebutkan suatu daerah di Rangkasbitung.
Aku : “Wah, jauh ya bu”.
Ibu : “Iya, neng”. Masih dalam ekspresi tak jelas.
Kereta sudah 1 jam lamanya tapi belum jalan juga, katanya ada banjir di
daerah Tanah Abang, otomatis perjalanan kereta sementara banyak yang
tertunda.
Anak dalam pangkuan si ibu tadi masih dengan tenang dalam pelukan
ibunya, padahal penumpang semakin sesak terasa tak nyaman dan mulai
panas. Aku kembali penasaran kok bisa anak sekecil itu tetap tenang
dalam keadaan kereta yang sangat panas tak ada penyejuk sekedar kipas
angin saja.
Aku : “Bu, kok anaknya anteng ya..padahal panas gini”. Aku kembali membuka pembicaraan.
Tiba-tiba si ibu menangis….
Aku : “Bu, maaf…ada yang salah dengan kata-kata saya”. Tanyaku semakin penasaran.
Ibu : “Tidak, neng…ibu sedih sekali”. Dia sepertinya mulai membuka diri padaku.
Aku : “Kenapa sedih, bu?”.
Ibu : “Maaf, neng…tolong setelah ibu ceritakan semuanya jangan katakan
pada siapapun, pada penumpang maupun kondektur. Neng, mau janji?”.
Aku sangat penasaran cerita apa yang akan disampaikan si ibu, sampai
berpesan jangan sampai menceritakan pada penumpang kereta dan kondektur.
Apa hubungannya mereka dengan si ibu ini.
Aku : “Insyallah, bu. Saya tidak akan menyampaikan kembali cerita yang akan ibu bagi pada saya”.
Ibu : “Terima kasih neng, sebelum dan sesudahnya.” Kemudian aku menyimak isi cerita si ibu.
Sudah satu minggu ini anaknya sakit panas tapi si ibu hanyalah pemulung
yang mengais rizki lewat sampah-sampah yang berserakan. Penghasilan yang
tidak menentu. Kalaupun dapat uang dari hasil menjual sampah
plastiknya, itupun tak seberapa hanya cukup untuk makan. Dia tidak punya
tempat tinggal tetap, kadang tidur di emperan atau di bawah jembatan
layang.
Si ibu ingin sekali membawa anaknya ke dokter tapi dia tak memiliki
uang, karena dia bukan warga DKI Jakarta dan tak memiliki KTP DKI jadi
dia tidak mendapatkan jaminan apa-apa. Si kecil anaknya hanya diobati
ala kadarnya tapi ternyata penyakitnya tak kunjung sembuh. Sampai subuh
tadi akhirnya si kecil dalam pangkuannya meninggal dunia.
Setelah meninggalpun dia bingung, kalau harus dikubur di Jakarta, ongkos
untuk menguburkannya pun dia tak punya cukup uang. Dan bila dia bawa ke
kampungnya yang cukup jauh dari kota Jakarta dengan menggunakan mobil
jenazah, itupun tak cukup ada uang, dibutuhkan uang sekitar Rp
1.000.000,-. Uang sebesar itu kata si ibu sangat besar dalam ukuran dia.
Akhirnya, lewat bantuan para gelandangan dan pemulung terkumpullah uang
sebesar Rp 250.000,- uang sebesar itu cukup untuk membawa si kecil ke
kampung halamannya dan dikuburkan disana yang tidak memakan biaya besar.
Aku benar-benar tercengat dengan penuturan si ibu, lalu atas seizin si
ibu ku pegang tangan si kecil nan cantik dalam pelukan ibunya.
Subhanallah…benar ya Robb, tangan mungil itu begitu dingin tak ada
denyut nadi disana. Ku cium dengan lembut keningnya, amat dingin tak ada
jiwa disana. Ya Robb, si kecil nan cantik itu tertidur damai dalam
pelukan si ibu yang amat menyayanginya.
Aku tak dapat menahan haru, ingin rasanya ku peluk dia dan ibunya.
Begitu sulitnya hidup ini sampai akhir hayatnya pun si kecil nan cantik
itu tak merasakan keramahan negeri ini. Aku hanya terdiam dan menatap
haru, sungguh ingin rasanya aku berteriak pada negeri ini.
Wahai penguasa nan congak dan sombong, lihat… ada rakyatmu yang begitu
menderita. Terbelenggu dalam kemiskinan dan keangkuhanmu. Tak bisakah
kau membuka mata hatimu, tetapi kepongahan terus menjalar dihatimu.
Si ibu, tak pernah meyalahkan siapapun dengan keadaanya, dia hanya mengatakan “ini takdir Tuhan”.
Kereta sesaat melaju, aku kini terdiam tanpa kata. Tak ada pertanyaan
yang membuatku penasaran, kini sudah aku dapatkan jawaban dari
keterdiaman si ibu dan indahnya tidur panjang si kecil nan cantik.
Selamat tidur nak, Allah bersamamu selalu dalam damai di surga sana. (Sumber FP : Kupilih Dermaga-Mu Untuk Pelabuhan Cintaku)
(Kisah nyata dari perjalananku, antara Stasiun Kota dan Parungpanjang).