Jauh sebelum David Beckham, Robin van Persie, Cristiano Ronaldo dan
Lionel Messi menjadi idola anak-anak muda dan para pecinta sepakbola di
negeri ini, bangsa kita pernah memiliki putra-putra terbaik yang membawa
tim nasional melalang buana, yang dengan gagah berani menggetarkan jala
gawang kesebelasan-kesebelasan negara lain di dunia.
Mungkin
hanya di lagu Iwan Fals anak-anak muda sekarang mengenal nama-nama
Ramang atau Abdul Kadir. Mungkin sudah saatnya nama-nama ini, walaupun
sudah lama meninggalkan kita, menjadi idola-idola baru untuk
menginspirasi para para pembina olahraga, khususnya sepakbola dan semua
atlet muda.
Pertengahan bulan ini memang saya maksudkan untuk
'napak tilas' untuk mencari tahu lebih banyak dengan mata kepala saya
sendiri kondisi keluarga para jawara ini.
Kalimat sakti milik
proklamator bangsa, Ir. Soekarno, yang menyebutkan "Jangan Sekali-Sekali
Melupakan Sejarah" akan langsung muncul di benak kita ketika kita
hendak menengok ke belakang. Semboyan yang muncul dalam pidato Hari
Ulang Tahun Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1966. Konteks
dari kalimat sakti itu adalah Indonesia pada masa itu sedang menghadapi
tahun yang gawat, perang saudara dan seterusnya.
Tanpa pretensi
untuk memaksakan, maksud niatan kami berkunjung ke keluarga
jawara-jawara sepakbola dan bapak bersahaja yang melahirkan PSSI dengan
semboyan besar Bung Karno, saya mencoba menemukan pembenaran.
Almarhum
Ramang adalah tokoh penting yang membawa sepakbola Indonesia mendunia.
Seorang inspirator dengan kemampuan mengolah bola dengan sangat baik.
Pria kelahiran 1928 itu menjadi bagian dari tim nasional yang berhasil
menahan Uni Soviet pada Olimpiade di Melbourne dengan skor 0-0.
Kisah
Ramang seharusnya menjadi bacaan wajib bagi para pemain sepakbola di
sini -- termasuk tim nasional yang akan bertanding melawan Arab Saudi di
babak kualifikasi Pra Piala Asia 2015. Dengan segala keterbatasan jaman
pada masa itu, Indonesia bermain dengan gagah berani di
gelanggang-gelanggang mancanegara.
Di kota Makassar, saya
bertemu dengan kedua putra Ramang, Anwar dan Rauf, yang menerima kami
dengan hangat di rumah keluarga di Jalan Landak Baru. Kediaman yang
bersahaja ini merupakan peninggalan jawara bola bangsa ini.
Bersama dengan kedua putra dan anggota keluarga Ramang, saya diantar untuk berziarah ke makam pesepak bola hebat itu.
Saya
bisa membayangkan masa-masa sulit yang harus dijalani Ramang dan
keluarganya. Walaupun kita tahu, seberapapun perhatian dan penghargaan
tidak akan pernah cukup membalasnya, namun ini adalah titik di mana
sudah saatnya kita membiasakan diri untuk memberi perhatia lebih.
Kesejahteraan dan penghargaan dari pemerintah/swasta/masyarakat harus
mulai ditegaskan bagi atlet-atlet kita yang berprestasi.
Selain
Ramang, kemarin (11/3) saya sowan ke Bandung untuk bertemu dengan cucu
pendiri PSSI, Ir. Soeration Sosrosoegondo. Dari Ibu Retno Wulandari saya
ingin sekali mendengarkan pesan-pesan untuk masa depan persepakbolaan
Indonesia, paling tidak belajar semangat untuk maju yang sudah
dicontohkan oleh almarhum Soeratin.
Sejarah telah mencatat
bagaimana Soeratin merintis pendirian sebuah organisasi sepakbola yang
akhirnya bisa diwujudkan pada tahun 1930. Organisasi ini bisa dikatakan
adalah wujud nyata dari Sumpah Pemuda 1928. Dengan brilian Soeratin
menerjemahkan konsep nasionalisme melalui olahraga, khususnya sepakbola.
Bergerilya untuk menghindari Belanda, mengesampingkan kepentingan
pribadi, Soeratin akhirnya berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh sepakbola
waktu itu di Yogyakarta pada tanggal 19 April 1930 untuk mendirikan
PSSI.
Kegiatan
mengurus PSSI menyebabkan Soeratin dan keluarganya harus dengan ikhlas
hidup dalam kesederhanaan dan meninggalkan segala kenyamanan yang mereka
seharusnya mereka bisa nikmati.
Dalam hati saya malu mendengar
cerita-cerita hebat tentang mereka. Kita bukan apa-apa, kecil sekali
kita. Dengan ambisi yang sangat besar dan ego yang jauh lebih besar dari
prestasi yang sudah kita capai selama ini, kita telah membiarkan
sepakbola -- dan cabang olahraga lainnya -- menjadi alat untuk
memenangkan kepentingan kita dan kelompok-kelompok tertentu.
Dengan
proses rekonsiliasi PSSI sudah dimulai dan berjalan, ini adalah saat
yang tepat untuk membuka babak baru--- dan tentu saja, semoga, tidak
harus dengan
"ctrl-alt-del".
Kongres Luar Biasa PSSI
pada tanggal 17 Maret nanti semoga menjadi titik balik kemajuan
persepakbolaan nasional. Membangun sepakbola Indonesia dengan keteguhan
hati, belajar dari sejarah untuk melangkah ke depan. Bertatap muka saja
dengan keluarga para jawara tidaklah cukup. Dengarkan cerita mereka
tentang orangtua mereka, belajar apa yang bisa pelajari dari
kenangan-kenangan mereka.